nasionalisme dan mahasiswa 2

NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG
101
NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG
RINA HERMAWATI
Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Komputer Indonesia
Mahasiswa sebagai salah satu kekuatan penekan dalam konstelasi sosial politik di
Indonesia dianggap memiliki rasa nasionalisme yang rendah. Hal ini disebabkan
karena sikap kritis mahasiswa terhadap berbagai kebijakan dan kinerja
pemerintahan serta adanya kecenderungan mahasiswa melecehkan simbol
nasionalisme seperti bendera, lagu Kebangsaan, slogan, dan lain-lain. Anggapan
ini masih memerlukan pembuktian mengingat nasionalisme bersifat
multiinterpretatif. Artinya, setiap kelompok dalam masyarakat dimungkinkan untuk
memiliki pengertian, makna dan wujud nasionalisme yang berbeda.
Nasionalisme, aktivis mahasiswa.
Mahasiswa mempunyai peranan yang sangat
penting dalam konstelasi sosial politik di
Indonesia. Keberadaan mereka menjadi salah
satu kekuatan yang dipertimbangkan oleh
berbagai kelompok kepentingan, terutama
pengambil kebijakan yakni negara.
Kondisi tersebut didukung oleh berbagai
kelebihan yang dimiliki mahasiswa yaitu
kelebihan dalam pemikiran ilmiah, semangat
muda, sifat kritis, kematangan logika dan
kebersihan dari noda orde masanya (Syukri,
2003). Lebih jauh, Syukri mengemukakan
bahwa peran nyata mahasiswa dalam
pembentukan nasionalisme Indonesia dapat
dilihat dalam 5 gelombang (Syukri, 2003)
yaitu :
1. Nasionalisme gelombang pertama yaitu
kebangkitan nasionalisme Indonesia yang
diawali dengan pendirian Budi Utomo
pada tahun 1908, dengan dimotori oleh
para mahasiswa kedokteran Stovia
2. Nasionalisme gelombang kedua yaitu
gerakan Sumpah Pemuda sebagai wujud
kesadaran untuk menyatukan negara,
bangsa dan bahasa ke dalam satu negara,
bangsa dan bahasa Indonesia tidak terlepas
dari peran mahasiswa Indonesia seperti
Soepomo, Hatta dan Sutan Syahrir.
3. Nasionalisme gelombang ketiga yaitu pada
masa kemerdekaan 1945 tidak terlepas dari
peran mahasiswa yang mendesak para
p e m i m p i n u n t u k s e g e r a
memproklamasikan Indonesia
4. Nasionalisme gelombang keempat yaitu
lahirnya Orde Baru 1966 dimotori oleh
gerakan mahasiswa serta organisasi sosial
lainnya
5. Nasionalisme gelombang kelima yaitu
lahirnya Orde Reformasi 1998 tidak
terlepas dari gerakan mahasiswa yang
menentang rezim orde baru.
Pada era reformasi di mana nasionalisme
sedang memperoleh banyak tantangannya
baik yang bersifat global maupun lokal, rasa
nasionalisme di kalangan mahasiswa kembali
mendapat perhatian masyarakat. Berbagai
kalangan masyarakat menganggap bahwa ada
kecenderungan menurunnya rasa nasionalisme
di kalangan mahasiswa, khususnya aktivis
Alamat korespondensi pada Rina Hermawati, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipati
Ukur 114, Bandung 40132. Email: giftarina@yahoo.com.
Bidang Humaniora
Majalah Ilmiah Unikom, Vol.6, hlm. 101-110
RINA HERMAWATI
102
mahasiswa. Penilaian ini muncul diakibatkan
oleh sikap kritis aktivis mahasiswa terhadap
berbagai kebijakan dan kinerja pemerintahan
yang sering kali dianggap memperpanjang
krisis multidimensi yang dialami Indonesia.
Selain itu, terdapat beberapa perilaku aktivis
mahasiswa yang dianggap melecehkan simbol
nasionalisme baik yang bersifat verbal seperti
slogan dan lagu kebangsaan maupun non
verbal seperti bendera, pemimpin, dan lainlain.
Beberapa contoh perilaku tersebut antara
lain meliputi kegiatan pembakaran bendera
merah putih, pembakaran gambar pemimpin
nasional, pendudukan terhadap gedunggedung
kenegaraan, perubahan syair lagu-lagu
perjuangan menjadi lagu-lagu yang
menyuarakan ketidakpuasan, kerawanan
sosial, penderitaan dan kemarahan rakyat,
serta slogan atau yel-yel yang menentang
rezim berkuasa.
Anggapan mengenai rendahnya rasa
nasionalisme di kalangan aktivis mahasiswa
masih memerlukan pembuktian. Sikap kritis
aktivis mahasiswa dapat dinilai sebaliknya
yaitu menunjukkan tingginya kesadaran
mahasiswa terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Demikian juga dengan pembakaran
terhadap bendera merah putih tidak serta
merta dapat diartikan sebagai pencerminan
rendahnya rasa nasionalisme di kalangan
aktivis mahasiswa.
Fenomena di atas menunjukkan adanya
perbedaan pandangan antara aktivis
mahasiswa dan masyarakat mengenai konsep
dan wujud nasionalisme. Tulisan ini
dirangkum dari penelitian penulis mengenai
persepsi aktivis mahasiswa tentang simbol
nasionalisme yang secara garis besar berisi
tentang bagaimana aktivis mahasiswa
memberikan arti, makna dan wujud
nasionalisme Indonesia. Penelitian dilakukan
di Kota Bandung dengan anggapan bahwa
Bandung merupakan salah satu barometer
kekuatan politik dan kota pelajar di Indonesia.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode etnografi dengan sumber
informasi adalah mahasiswa yang menjadi
aktivis berbagai organisasi kemahasiswaan
baik intra maupun ekstra kampus. Sumber
informasi yang dipilih adalah aktivis Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM), Majalah
Kampus, Kelompok-kelompok kajian,
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Front
Mahasiswa Nasional (FMN) dan Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Sedangkan pemilihan informan penelitian
dilakukan secara purposif yaitu disesuaikan
dengan kriteria yang telah ditentukan untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Pemilihan
informan pada penelitian etnografi mengacu
pada kualitas informasi yang dibutuhkan,
bukan berapa banyak sampel yang
diperlukan. Dalam penelitian ini, peneliti
memilih informan berdasarkan pada kriteria:
1. Informan merupakan tokoh organisasi
kemahasiswaan yang memiliki pengaruh
luas di kalangan mahasiswa.
2. Informan memiliki pengetahuan yang
luas dan memadai sesuai dengan
permasalahan penelitian.
3. Informan memiliki banyak pengalaman
sesuai dengan lapangan penelitian.
4. Informan memiliki pandangan tentang
sesuatu hal berkaitan dengan penelitian.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini,
diperoleh melalui beberapa teknik
pengumpulan data, yaitu catatan etnografis,
wawancara mendalam, observasi dan studi
pustaka.
1. Membuat catatan-catatan etnografis,
berupa catatan-catatan kecil ketika
peneliti berada di lapangan. Catatan
berisi kejadian-kejadian menarik,
gambaran umum kondisi di lapangan dan
lain sebagainya yang berfungsi untuk
melengkapi proses wawancara serta akan
digunakan pada saat analisis data.
2. Melakukan wawancara mendalam
dengan informan. Wawancara dilakukan
NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG
103
secara individu dan berkelompok (focus
group discussion). Cara ini digunakan
untuk membantu peneliti menggali
pengetahuan responden tentang topik yang
diteliti serta berfungsi sebagai cek silang
(cross check) terhadap catatan-catatan
etnografis yang telah dibuat. Wawancara
dilakukan secara bebas dan sambil lalu,
tanpa disadari oleh informan sendiri.
3. Teknik observasi merupakan salah satu
tahapan yang digunakan penulis untuk
mengamati kehidupan sehari-hari aktivis
mahasiswa yang diteliti dalam kurun
waktu tertentu, mengamati berbagai
peristiwa yang terjadi, menyimak apa yang
dikatakan dan mengajukan pertanyaan.
Ringkasnya, mengumpulkan data atau
informasi apapun yang dapat dipergunakan
untuk menjelaskan gejala-gejala yang
sedang dikaji.
4. Studi kepustakaan. Pada tahapan ini,
peneliti melakukan pengumpulan data
melalui penelaahan terhadap buku-buku,
artikel, serta literatur lainnya yang
mempunyai hubungan dengan persepsi
simbol-simbol nasionalisme di kalangan
aktivis mahasiswa. Buku-buku, artikel dan
literatur tersebut dipelajari dan dipahami
untuk memperkuat ataupun membantah
hasil penelitian. Apabila ditemukan
literatur yang berbeda dengan hasil
penelitian, maka dilakukan cross check
dengan informan penelitian.
H A S I L P E N E L I T I A N DAN
PEMBAHASAN
Pengertian dan Makna Nasionalisme di
Kalangan Aktivis Mahasiswa Unpad
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan,
diperoleh informasi bahwa aktivis mahasiswa
Bandung member ikan pengertian
nasionalisme berdasarkan tiga rentang arti
berikut ini :
Nasionalisme adalah sebuah ideologi politik
yang menjelaskan kepada rakyat tentang
batas-batas negara dan memberikan definisi
sebuah bangsa yang berbeda dengan
bangsa lainnya.
Pengertian di atas memandang nasionalisme
sebagai sebuah ideologi dengan penekanan
pada pentingnya penataan wilayah dan
upaya membangun identitas nasional melalui
budaya nasional sebagai representasi dari
budaya lokal. Pengertian tersebut senada
dengan pendapat Smith (2002:26) yang
mengatakan bahwa ideologi nasionalis
mempunyai sasaran untuk mencapai
pemerintahan kolektif sendiri, penyatuan
wilayah dan identitas budaya. Selanjutnya,
Smith mengatakan bahwa untuk mencapai
sasaran tersebut, terdapat tiga ideal
fundamental yaitu otonomi nasional,
kesatuan nasional dan identitas nasional.
Dalam pengertian umum, otonomi diartikan
sebagai mengatur diri sendiri (self
regulation), artinya memiliki hukum sendiri
dan bebas dari kendala eksternal. Hal ini
berlanjut pada gagasan tentang penentuan
diri sendiri (self determination) yaitu
berupaya untuk merealisasikan kehendak
kolektif serta bertanggung jawab atas
sasaran-sasaran dan tindakan kolektifnya.
Konsep selanjutnya adalah pengaturan diri
(self rule) yaitu pengaturan kolektif dari dan
oleh rakyat sebagai akibat dari penentuan
diri sendiri secara nasional atas kehendak
kolektif dan perjuangan untuk mempunyai
pemerintahan nasional sendiri. Dengan
demikian, otonomi mengandung arti
pengaturan diri atas kehidupan religius dan
budaya, otonomi legal, autarki ekonomi dan
pengaturan diri secara internal di dalam
suatu negara dan bertanggung jawab atas
urusan-urusan luar negeri dan pertahanan.
Konsep otonomi ini tidak terlepas dari spirit
dan roh kemandirian. Kemandirian
mengandung pengertian nasionalisme
ekonomi yang sangat menekankan
pentingnya arti kemandirian ekonomi
Indonesia dalam pentas pergaulan ekonomi
internasional, namun tidak berarti anti
pergaulan ekonomi internasional, anti modal
RINA HERMAWATI
104
asing, atau anti hutang luar negeri. Pergaulan
ekonomi internasional harus dilakukan dengan
mendudukkan Indonesia sebagai sebuah
negara merdeka. Artinya, pergaulan ekonomi
internasional harus sejalan dengan
kepentingan seluruh rakyat. Kemandirian
dalam bidang ekonomi akan menaikkan
bargaining position bangsa Indonesia dalam
bidang politik sehingga memungkinkan
bangsa Indonesia untuk dapat menentukan
nasibnya sendiri.
Ideal kedua yaitu, kesatuan nasional yang
mencakup kesatuan teritorial (wilayah), sosial
dan budaya. Kesatuan ini tidak mengandung
arti keseragaman, namun penyatuan sosial dan
budaya kelompok-kelompok keluarga dan
kehendak serta sentimen individu.
Nasionalisme tidak menuntut agar anggotaanggota
individual harus menjadi serupa,
namun mereka harus merasakan suatu ikatan
solidaritas yang mendalam sehingga bertindak
atas dasar kepentingan nasional.
Makna yang tercakup dalam kesatuan
nasional ini adalah nasionalisme peka
terhadap pluralitas seperti yang terkandung
dalam Bhineka Tunggal Ika. Nasionalisme
tidak tergantung pada mitos saja, tetapi juga
harus melihat realita kebhinekaan Indonesia.
Paham lokal tentang kepemimpinan, hak
milik, kesatuan wilayah, makna hutan dan
gunung berbeda-beda untuk setiap kelompok
etnik. Paham suatu lokal yang diangkat
menjadi paham nasional tentu akan
mendatangkan masalah bagi lokal-lokal
lainnya yang berbeda pahamnya.
Ketersinggungan, ketertekanan dan
ketidaksenangan, diam-diam dapat
mengendap lama di lokal-lokal yang
mengalami konflik semacam itu. Hal ini baru
menyangkut pluralitas budaya etnik, belum
lagi pluralitas agama, rasial dan golongangolongan
kepentingan.
Selama ini, isu sara adalah isu yang
disembunyikan, dihindari dan ditakuti seolaholah
bukan realita Indonesia. Akibatnya, isu
ini terus menjelma dalam berbagai konflik
yang menyakitkan. Sudah saatnya seluruh
komponen bangsa berani menghadapi, melihat
dan memecahkan kenyataan pluralitas konkret
ini. Nasionalisme harus peduli terhadap
kenyataan perbedaan-perbedaan tersebut.
Harus dikembangkan sikap saling memahami,
menghargai dan menghormati, saling peduli,
dan saling menyesuaikan diri antar komponen
masyarakat serta antara pemimpin dengan
yang dipimpin.
Ideal yang ketiga yaitu identitas nasional yang
didasarkan atas unsur-unsur budaya
komunitas etnik, kelas dan wilayah. Namun,
kolektivitas budaya jauh lebih stabil karena
unsur-unsur budaya dasar yang
membentuknya – kenangan, nilai, simbol,
mitos, tradisi – cenderung lebih bertahan lama
dan mengikat. Walaupun begitu, budaya
kolektif tidak bersifat tetap atau statis akan
tetapi tunduk pada proses-proses perubahan.
Proses perubahan ini terjadi dalam setiap
generasi sehingga menimbulkan pemahaman
baru atas budaya kolektif. Oleh karena itu,
visi heroik identitas nasional dengan tema
perjuangan, pembebasan dan pengorbanan
bisa saja dalam generasi berikutnya, berubah
menjadi versi identitas nasional yang lebih
terbuka dan pragmatik dengan menekankan
berbagai tema seperti kemampuan
kewirausahaan, keterampilan organisasional
dan toleransi atas perbedaan. Di sinilah
pentingnya reinterpretasi terhadap pola
kenangan, nilai, simbol, mitos dan tradisi
yang membentuk identitas nasional.
Konsep identitas nasional berkaitan dengan
pembentukan karakter bangsa. Dalam
kaitannya dengan kondisi Indonesia, aktivis
mahasiswa Bandung menganggap bahwa
bangsa Indonesia telah gagal membentuk
karakter nasional. Anggapan yang muncul
selama ini mengatakan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang komunal,
ramah, sopan, dan berketuhanan. Namun
seiring dengan perubahan zaman, karakteristik
tersebut semakin lama semakin hilang bahkan
yang muncul saat ini adalah citra negatif
NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG
105
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang suka
korupsi, rusuh, tidak tertib, dan lain-lain.
Kegagalan membentuk identitas nasional yang
membanggakan ini menyebabkan lunturnya
rasa nasionalisme di kalangan masyarakat.
Untuk itu, diperlukan upaya untuk
membangun kembali identitas bangsa yang
dibangun dari nilai-nilai budaya lokal.
Upaya ini dapat dilakukan melalui pelacakan
terhadap akar dan karakter bangsa melalui
disiplin sejarah, arkeologi, antropologi,
sosiologi, bahasa dan folklor. Disiplin-disiplin
ilmiah ini menyediakan perangkat dan bingkai
kerja konseptual untuk menjawab “siapa kita”,
“kapan kita mulai ada”, “bagaimana kita
tumbuh” dan “ke mana kita akan menuju”.
Nasionalisme sebagai sebuah ikatan
emosional yang terbentuk antar anggota
suatu bangsa karena adanya kesamaan latar
belakang sejarah, wilayah, bahasa dan nilai.
Pengertian ini menekankan pada unsur
perasaan dan psikologis yang tercipta antar
anggota suatu bangsa. Dalam pandangan
aktivis mahasiswa Bandung, nasionalisme
Indonesia terbentuk sebagai reaksi terhadap
kolonialisme yang telah memunculkan
kesadaran untuk melepaskan diri dari situasi
yang tertindas, terbelakang, dan diskriminatif.
Dengan demikian, salah satu faktor
pembentuk nasionalisme adalah kesamaan
asal-usul sejarah. Persepsi yang sama tentang
pengalaman masa lalu tidak hanya melahirkan
solidaritas (rasa sependeritaan dan
sepenanggungan), tetapi juga tekad dan tujuan
yang sama antar kelompok masyarakat.
Akan tetapi solidaritas yang tumbuh karena
faktor sejarah ini gagal dipelihara oleh negara.
Praktek-praktek kenegaraan yang dilakukan
masih dipenuhi oleh simbol yang menjauhkan
rasa kebersamaan antar elemen bangsa.
Simbol dari budaya etnis tertentu tampil
secara dominan di pentas nasional,
mengingkari budaya etnis yang lain.
Akibatnya secara kultural semakin banyak
kelompok yang merasa tidak terwakili dalam
budaya nasional yang terbentuk. Kondisi ini
merupakan contoh bagaimana solidaritas
emosional telah gagal dikelola secara efektif.
Solidaritas fungsional pun gagal
ditumbuhkan. Otoritarianisme yang
berlangsung selama puluhan tahun telah
melahirkan berbagai ketimpangan; baik antar
desa dan kota, antar daerah, Jawa dan luar
Jawa, maupun antara Indonesia Barat dan
Timur. Keseluruhan proses ini telah
mengakibatkan timbulnya rasa keterbuangan
pada banyak kelompok etnis sehingga tidak
tercipta keterkaitan fungsional antara satu
kelompok dengan kelompok lain, antara satu
etnis dengan etnis lain.
Kegagalan pembentukan solidaritas tersebut
mengakibatkan sejumlah etnis ingin
melepaskan identitas Indonesianya. Tafhel
dan Turner (dalam Mardiansyah, 2001)
mengatakan bahwa secara psikologis, orang
atau sekelompok orang tertarik masuk ke
dalam suatu kelompok karena didasari oleh
faktor-faktor: pertama adanya kesamaan
(similarity); kedua, perasaan senasib (common
fate); ketiga, adanya kedekatan baik fisik
maupun psikologis (proximity); keempat,
merasa mendapat ancaman dari musuh
(shared treat) dan kelima, motif-motif lain
yang bersifat utilitarian, keuntungan bersama
dan pencapaian tujuan bersama.
Dengan demikian, pemeliharan ikatan
emosional bangsa Indonesia dapat dilakukan
dengan pemenuhan dimensi sosial-psikologis
berupa identitas nasional yang positif dan
membanggakan, penciptaan keadilan serta
pencapaian tujuan negara antara lain
mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Nasionalisme sebagai kecintaan terhadap
bangsa yang diwujudkan melalui perbuatan
yang mencerminkan kepentingan bangsa.
Pengertian nasionalisme yang ketiga ini
rentan akan penyalahgunaan. Menurut aktivis
Mahasiswa Bandung, nasionalisme sering kali
RINA HERMAWATI
106
diartikan sebagai kecintaan terhadap negara
yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan
terhadap pemimpin negara. Padahal, bangsa
bukanlah negara karena konsep negara
berkaitan dengan teritori sedangkan aktivitas
bangsa bercirikan suatu jenis komunitas.
Negara menggambarkan adanya satu struktur
kekuasaan yang memonopoli penggunaan
fisik yang sah terhadap kelompok masyarakat
yang tinggal dalam wilayah yang jelas batasbatasnya
(Surbakti, 1992). Hal ini sangat
berbeda dengan konsep bangsa yang diartikan
sebagai komunitas yang (1) terbentuk dari
keyakinan bersama dan komitmen yang saling
menguntungkan, (2) mempunyai latar
belakang sejarah, (3) berkarakter aktif, (4)
berhubungan dengan suatu wilayah tertentu,
dan (5) dibedakan dari komunitas lain melalui
budaya publiknya yang khas (Smith, 2002).
Dengan demikian, solidaritas kebangsaan
tidak selalu sama persis dengan terirori
negara. Untuk itu, perlu diupayakan untuk
menghidupkan nasionalisme dalam lingkup
teritori negara.
Hal ini relevan dengan pandangan bahwa
sasaran nasionalisme tidak hanya
penyebarluasan kesadaran berbangsa
melainkan terbentuknya suatu nation state
(negara bangsa) yang akan menjadi wahana
politik untuk mewujudkan tercapainya masa
depan yang lebih baik bagi seluruh komponen
bangsa. Frank HT (dalam TH Sumartana,
2001) mengemukakan bahwa negara bangsa
merupakan poit penting di dalam politik
domestik dan hubungan internasional di dunia
modern. Negara bangsa adalah pemegang
kedaulatan tertinggi bagi pemerintahan dan
rakyatnya. Rakyat memandang negara bangsa
sebagai pembuat, pemaksa dan pihak yang
menginterpretasikan hukum. Negara bangsa
adalah kulminasi unit-unit politik dan entitas
yang legal untuk melindungi dan
mempertahankan penduduk dan wilayahnya.
Pembentukan negara bangsa berkaitan dengan
identitas yang tersedia untuk menyatukan
masyarakat. Faktor-faktor yang diperkirakan
menjadi identitas bersama suatu masyarakat
meliputi : primordial, sakral, tokoh, bhineka
tunggal ika, konsep sejarah, perkembangan
ekonomi dan kelembagaan (Surbakti, 1992).
a. Primordial
Ikatan kekerabatan (darah dan keluarga),
suku bangsa, daerah, bahasa dan adat
istiadat merupakan faktor-faktor
primordial yang dapat membentuk negara
bangsa. Primordial ini tidak hanya
menimbulkan pola perilaku yang sama
tetapi juga melahirkan persepsi yang sama
tentang masyarakat-negara yang dicitacitakan.
b. Sakral
Kesamaan agama yang dipeluk oleh suatu
masyarakat atau ikatan ideologi yang kuat
merupakan faktor sakral yang dapat
membentuk negara bangsa. Ajaran-ajaran
agama dan ideologi ini menggambarkan
cara hidup yang seharusnya dan tujuan
suci.
c. Tokoh
Kepemimpinan dari seorang tokoh yang
disegani dan dihormati secara luas oleh
masyarakat dapat pula menjadi faktor yang
menyatukan suatu negara bangsa.
Pemimpin ini menjadi panutan sebab
warga masyarakat mengidentifikasikan diri
kepada sang pemimpin dan ia dianggap
sebagai penyambung lidah masyarakat.
d. Sejarah
Persepsi yang sama tentang asal-usul
(nenek moyang) dan persepsi yang sama
tentang pengalaman masa lalu seperti
penderitaan yang sama yang disebabkan
dengan penjajahan tidak hanya melahirkan
solidar i t a s (sependeritaan dan
sepenanggungan), tetapi juga tekad dan
tujuan yang sama antar kelompok
masyarakat.
e. Bhineka Tunggal Ika
Faktor lain yang dapat menjadi identitas
pembentuk bangsa-negara berupa prinsip
bersatu dalam perbedaan (unity in
diversity). Yang dimaksudkan dengan
bersatu dalam perbedaan ialah kesetiaan
warga masyarakat pada suatu lembaga
yang disebut negara atau pemerintahan
yang mereka pandang dan yakini
NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG
107
mendatangkan kehidupan yang lebih
manusiawi tetapi tanpa menghilangkan
keterikatan kepada suku bangsa, adat
istiadat, ras atau agama.
f. Kelembagaan
Faktor lain yang juga berperan dalam
proses pembentukan bangsa berupa
lembaga-lembaga pemerintahan dan
politik seperti birokrasi, angkatan
bersenjata dan partai politik. Setidaktidaknya
terdapat dua sumbangan
birokrasi pemerintahan bagi proses
pembentukan negara bangsa, yakni
mempertemukan berbagai kepentingan
dalam instansi pemerintah dengan
berbagai kepentingan di kalangan
penduduk sehingga terpenting suatu
kepentingan nasional, watak kerja dan
pelayannya yang bersifat impersonal.
Ideologi angkatan bersenjata yang
nasionalistis berfungsi memelihara dan
mempertahankan keutuhan wilayah dan
persatuan bangsa. Sedangkan
keanggotaan partai politik yang bersifat
umum (terbuka bagi warga negara yang
berlainan etnis, agama dan golongan),
kehadiran cabang-cabangnya di wilayah
negara dan peranannya dalam
menampung dan memadukan berbagai
kepentingan masyarakat menjadi suatu
alternatif kebijakan umum merupakan
kontribusi partai dalam proses
pembentukan bangsa.
Wujud Nasionalisme di Kalangan Aktivis
Mahasiswa Bandung
Pengertian nasionalisme tersebut
memunculkan wujud nasionalisme sebagai
berikut :
1. Memiliki kepedulian terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh bangsa
yang diwujudkan dalam bentuk
sumbangan pemikiran untuk mengatasi
permasalahan yang ada.
2. Menaati peraturan negara seperti
membayar pajak, mempunyai Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan paraturan
perundangan lainnya.
3. Menghormati perbedaan baik atas dasar
suku bangsa, agama, bahasa, ras maupun
kepentingan dengan tidak melakukan
diskriminasi terhadap suku bangsa,
agama, bahasa dan ras tertentu.
4. Mempunyai rasa solidaritas, persamaan
dan persaudaraan antar sesama manusia.
Indikator di atas menggambarkan pengaruh
globalisasi terhadap nasionalisme. Hal ini
juga tidak terlepas dari dampak bubarnya
Uni Sovyet dan runtuhnya negara-negara
komunis di Eropa Timur yang sering diklaim
sebagai kemenangan demokrasi. Pergeseran
nilai yang kemudian mengikuti, juga
berkisar pada isu demokrasi dan Hak Asasi
Manusia (HAM). Kepedulian terhadap
permasalahan masyarakat dan penghormatan
terhadap perbedaan merupakan bukti nyata
terhadap pernyataan di atas.
Mengacu pada wujud rasa nasionalisme
yang pertama, maka sikap kritis aktivis
mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah
merupakan salah satu perwujudan rasa
nasionalisme. Tidak heran apabila
demonstrasi bagi aktivis mahasiswa justru
menggambarkan tingginya rasa
nasionalisme. Sebagai contoh, munculnya
demonstrasi yang menentang kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan
upaya mahasiswa untuk membela
kepentingan masyarakat kecil yang semakin
kesulitan akibat kenaikan tersebut sekaligus
kritik terhadap pemerintah yang tidak
menyiapkan sistem untuk mengantisipasi
dampak dari kenaikan BBM tersebut.
Namun, dalam kenyataan di lapangan
pengertian nasionalisme telah mengalami
penyimpangan makna. Nasionalisme sering
kali diartikan sebagai sikap patuh terhadap
pemerintah. Dengan pemahaman seperti ini,
tidak heran apabila mahasiswa dianggap
memiliki rasa nasionalisme yang rendah.
Penilaian masyarakat tersebut dimungkinkan
mengingat pendidikan politik yang
RINA HERMAWATI
108
dilakukan selama 32 tahun Orde Baru
berkuasa sangat minim sehingga masyarakat
cenderung apolitis. Tidak heran apabila
orang-orang kritis sering dicap sebagai anti
nasionalisme, anti Pancasila, radikal atau
bahkan penganut komunisme. Menurut
aktivis mahasiswa, pernyataan tersebut
merupakan opini publik yang diciptakan oleh
kelompok tertentu yang merasa terganggu
dengan gerakan mahasiswa. Hal ini
didukung oleh ketidakmampuan mahasiswa
menggunakan strategi yang tepat dalam
memperjuangkan aspirasi dan tuntutannya.
Akibatnya hubungan antara mahasiswa dan
masyarakat semakin tidak harmonis.
Aktivis mahasiswa sendiri menilai rasa
nasionalisme di kalangan masyarakat
Indonesia sudah berada pada titik yang
rendah. Hal ini ditandai dari semakin
rendahnya rasa kekeluargaan dan
kebersamaan antar masyarakat serta sikap
tidak peduli terhadap berbagai permasalahan
bangsa. Nasionalisme yang dikembangkan
dalam masyarakat adalah nasionalisme yang
bersifat emosional dan sesaat. Nasionalisme
seperti ini hanya muncul ketika menghadapi
musuh dari luar, misalnya dalam menyikapi
kasus Ambalat yang dianggap mengancam
kedaulatan negara muncul berbagai gerakan
pembela tanah air dan sukarelawan melawan
Malaysia.
Lunturnya nasionalisme di kalangan
masyarakat disebabkan oleh pengelolaan
negara yang tidak benar. Beberapa indikator
yang menunjukkan hal tersebut, antara lain:
• Belum ditanganinya secara serius
permasalahan kesenjangan sosial dan
kesenjangan pusat dengan daerah
• Hukum masih dijadikan sebagai alat
kekuasaan dan alat pemiliki modal.
Artinya persamaan di depan hukum
masih berupa retorika politik
• Semakin maraknya korupsi, kolusi dan
nepotisme
• K e t id a kmampuan peme r i n t a h
memberikan pelayanan yang prima
kepada masyarakat khususnya pelayanan
dasar seperti pendidikan dan kesehatan
• Ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap
kebijakan hutang luar negeri, negaranegara
kreditur dan perusahaan multi
nasional.
Menurut mereka, kondisi Indonesia tidak
akan bisa diperbaiki tanpa peran serta
seluruh masyarakat. Permasalahannya
masyarakat cenderung apatis dan apolitik.
Hal ini disebabkan karena adanya anggapan
bahwa politik terpisah dengan ekonomi. Pola
pikir seperti inilah yang perlu diubah.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa politik
berhubungan erat dengan ekonomi.
Sifat apatis dan apolitis masyarakat
disebabkan karena minimnya pendidikan
politik selama 32 tahun Orde Baru berkuasa,
sebagai konsekuensi dari pendekatan
keamanan dan kesejahteraan yang diterapkan
pemerintah. Dalam hal ini, sikap kritis
dianggap sebagai pengganggu stabilitas
nasional yang akan menghalangi tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Tidak heran
apabila orang-orang kritis dianggap sebagai
orang radikal atau komunis.
Untuk itu, nasionalisme perlu ditumbuhkan
melalui melalui sistem pendidikan yang
berwatak nasional, ilmiah, demokrasi dan
bervisi kerakyatan dengan pengertian
sebagai berikut:
1. Nasional
Pendidikan berwatak nasional
mengandung arti bahwa pendidikan
harus mampu menjangkau seluruh
rakyat Indonesia tanpa memandang
status sosial ekonominya. Dalam hal ini,
negara mempunyai tanggung jawab
untuk merealisasikan hal tersebut
melalui pendidikan murah serta
pemerataan sarana dan prasarana
pendidikan. Untuk itu, pemerintah harus
segera merealisasikan anggaran 20%
dari APBN dan APBD untuk
pendidikan.
2. Mengandung nilai-nilai keilmiahan
NASIONALISME VERSI AKTIVIS MAHASISWA BANDUNG
109
Keilmiahan adalah hakikat pendidikan
yang bertujuan mencerdaskan umat
manusia dan memajukan Ilmu
Penge tahuan dan Teknologi .
Keilmiahan tidak sekedar membuat
kurikulum materi pendidikan tetapi
diikuti dengan metode belajar mengajar
yang mendorong kebebasan berdisusi,
berdebat dan berpikir kritis agar tercipta
pemikiran-pemikiran baru. Pendidikan
tidak bebas nilai karena harus
mencerminkan nilai-nilai budaya
masyarakat. Pendidikan ilmiah mampu
mengaitkan realitas sosial dengan teoriteori
yang bertujuan mewujudkan
masyarakat Indonesia yang demokratis,
berkeadilan, sejahtera dan berdaulat.
Selain itu, pendidikan harus mampu
merombak pola pikir dan budaya
masyarakat Indonesia yang masih kental
dengan budaya feodalisme.
3. Mengandung nilai-nilai demokratis
Pendidikan harus didasari nilai-nilai
demokrasi yang bersandarkan pada
prinsip kesetaraan, partisipatif dan
keadilan. Nilai-nilai tersebut harus
diwujudkan baik dalam metode
pembelajaran, penyelenggaraan
pendidikan dan hubungan antara guru
(dosen) dengan peserta didik. Metode
pembelajaran yang demokratis harus
mampu mendorong partisipasi aktif dan
kebebasan berpikir peserta didik.
Sementara itu, penyelenggaraan
pendidikan yang demokratis ditandai
dengan keterlibatan stake holder dalam
penyelenggaraan pendidikan. Sedangan
hubungan guru (dosen) yang demokratis
ditandai dengan perlakuan yang tidak
diskriminatif terhadap peserta didik dan
tidak ada monopoli kebenaran oleh guru
(dosen).
4. Bervisi kerakyatan
Pendidikan bervisi kerakyatan
mengandung arti pendidikan yang
bertujuan memajukan kebudayaan dan
taraf berpikir rakyat. Pendidikan harus
mampu menghasilkan lulusan yang
bertanggung jawab dan mengabdi
kepada rakyat. Untuk itu, kurikulum
pendidikan harus mampu memaparkan
realitas sosial rakyat Indonesia sehingga
peserta didik tidak terasing dari keadaan
sosialnya. Hal ini terutama ditujukan
untuk mata kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan. Selama ini, materi
kedua mata kuliah tersebut bersifat
normatif dan tidak operasional. Menurut
pandangan aktivis mahasiswa,
seharusnya kedua mata kuliah ini
diarahkan pada pembentukan pola pikir
bagaimana memberikan kontribusi
terhadap bangsa dan negara sejak
pendidikan dasar. Misal, apa yang bisa
kita lakukan kalau negara kita miskin,
banyak koruptor, banyak hutang, dan
lain-lain.
PENUTUP
Nasionalisme dapat didefinisikan melalui
berbagai cara tergantung pada sudut pandang
para penafsirnya. Aktivis mahasiswa sebagai
salah satu kekuatan penekan dalam
konstelasi sosial politik di Indonesia
menekankan perwujudan nasionalisme
dengan cara memberikan kontribusi berupa
tenaga maupun pikiran untuk memperbaiki
kondisi bangsa dan negara. Dengan cara
berpikir seperti ini, maka sikap kritis aktivis
mahasiswa merupakan wujud dari tingginya
rasa nasionalisme. Yang perlu mendapat
perhatian kemudian adalah bagaimana agar
aksi dan gerakan yang dilakukan mahasiswa
tetap berada dalam koridor nilai dan norma
yang berlaku dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. (2002). Imagined communities
(komunitas-komunitas imajiner).
Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka
Pelajar.
Andrain. (1992). Kehidupan politik dan
perubahan sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana
Bahar, S. (1998). Sumbangan daerah dalam
proses nasion-building dalam
RINA HERMAWATI
110
regionalisme, nasionalisme, dan
ketahanan nasional. Ichlasul Amal &
Armaidy Armawi (Penyunting).
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
(2002). Hantu komparasi (nasionalisme,
Asia Tenggara dan Dunia). Yogyakarta:
Qalam.
Hobsbawm. (1992). Nasionalisme menjelang
abad XXI. Yogyakarta: Tiara Wacana.
(2003). Nasionalisme (teori, ideologi,
sejarah). Jakarta: Erlangga.
Purwanto, B. (2001). Memahami kembali
nasionalisme Indonesia. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, (4)3. Hlm. 243-
263.
Sanit, A. (1992). Pergolakan melawan
kekuasaan (gerakan mahasiswa antara
aksi moral dan politik). Yogyakarta:
INSIST Press dan Pustaka Pelajar.
Santoso, P. Merajut Kohesi Nasional : Etnonasionalisme
dan Otonomi Daerah dalam
Proses Demokratisasi. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Volume (4)3. Hlm 265-
288
Smith. A.D. (1972). Theories of nationalism.
New York: Harper & Row Publishers.
Spradley, J.P. (1997). Metode etnografi.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Surbakti, R. (1992). Memahami ilmu politik.
Jakarta: Gramedia Widiasarama
Indonesia
Syukri, A.F. Peran Pemuda dalam 20
Tahunan Siklus Nasionalisme Indonesia
(Refleksi 75 Tahun Soempah Pemuda,
1928-2003).
Rahmat, J. (2000). Psikologi komunikasi.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Ritzer, G. (1991). Sosiologi ilmu
pengetahuan berparadigma ganda.
Jakarta: Rajawali Press.
Yunanto, S.E. (1998). Mendobrak
otoritarianisme orde baru di medan
mahasiswa. Analisis CSIS, (27)4. Hlm.
378-395.

Leave a comment